Artikel – Gunungan sampah bertumpuk-tumpuk di tepi jalan raya (dokumen pribadi)
Wajah pagi kusut. Matahari enggan beringsut. Burung-burung mendadak gagap, gagal berkicau, serak bersuara gagak.
Gumpalan hitam dari cerobong menjumpai asap melengking dari pantat angkot, dari laju mobil-mobil, dari pekik motor-motor penyebab telinga pekak pengantar manusia-manusia egois.
Bagaimanapun, bengisnya udara dan suara merupakan hal lumrah bagi buruh berseragam kuning. Tanpa sarung tangan, mereka terampil mengaduk-aduk tumpukan buangan dari berbagai rumah.
Memilih sembari memilah sampah, kadang disertai dengan serapah, ketika menemukan partikel teramat bau yang menembus masker berlapis-lapis.
Ia berupa sisa-sisa makanan, atau potongan-potongan, sedang disantap belatung-belatung putih. Bisa juga berwujud mikroorganisme tidak kasat mata pengurai barang busuk menguarkan hawa bacin.
“Kenapa sih orang-orang bebal itu tidak mau memilah,” serapah seseorang sambil memilih kardus basah dari tumpukan sampah dengan tangan kosong.
“Itulah susahnya. Sudah berkali-kali ibu-ibu, ART, duda, dan bapak-bapak di permukiman mewah diingatkan,” berkacak-pinggang, saya menghembuskan kesal bersama asap putih sisa bakaran tembakau, demi membelokkan bau menyengat agar tidak masuk hidung.
Sekali lagi, serapah membubung menyertai bau anyir tumpukan sampah amis, bertubi-tubi dari mulut-mulut nyinyir.
Angan mengapung, teringat pengharapan saya kepada para penghuni rumah megah, agar memilih dan memilah buangan, sebelum dikumpulkan di bak sampah. Menyisihkan barang anorganik dari limbah organik.
Membungkus kertas, kardus, botol plastik bekas minuman, dan materi yang dapat didaur ulang dalam satu wadah. Barulah jasad mudah busuk dikumpulkan dalam wadah lain dengan ikatan kuat, atau bertutup rapat.
Kemudian kantong-kantong yang sudah dipilah, diletakkan pada bak sampah secara terpisah. Demikian agar petugas pembersihan mampu bekerja sigap.
Bahan mudah hancur segera dikirim ke tempat pembuangan akhir. Anasir keras dapat ditukar dengan lembaran kertas pembeli roti, juga kopi, kepada pengepul barang bekas.
Namun para penghuni rumah-rumah mewah itu bengal, bego, bebal, gemblung, dan berotak-udang, tidak mengindahkan imbauan saya yang berbusa-busa.
Mengesalkan!
Mereka masih saja tidak memilih dan memilah limbah, juga membuangnya dengan sembarangan di luar bak sampah.
Sekali lagi. Dan kemudian, sekali lagi selama berkali-kali saya mengingatkan mereka. Upaya itu menumbuhkan benih terang. Dengan menggerutu, sebagian warga mulai memilih dan memilah sampah. Membuang pada tempatnya.
Perlu usaha sekali lagi selama berkali-kali untuk menyadarkan selebihnya, mengenai pentingnya memilih dan memilah sampah, demi mengindahkan kelestarian lingkungan. Sekaligus memerhatikan keperluan petugas kebersihan akan roti dan kopi.
Ikhtiar saya tidak sia-sia. Pada akhirnya, seluruh warga permukiman mewah berisi rumah-rumah megah meluluskan seruan saya. Kini mereka mau memilih dan memilah sampah, juga membuangnya di tempat yang telah ditentukan.
Tiada lagi gunungan sampah bertumpuk-tumpuk. Tiada lagi bau bacin yang menyengat dari buangan busuk.
Atas pencapaian tersebut, atasan langsung saya memberikan penghargaan berupa kenaikan jenjang karier.
“Dengan ini, Anda dipromosikan kenaikan pangkat dan menjabat sebagai Kepala Bidang Pembinaan pada departemen baru.”
Saya membayangkan kursi empuk, meja mahoni dalam ruang dingin, yakni bagian dari Departemen Pembinaan Maling Duit Rakyat.
Saya membayangkan tampang-tampang koruptor brutal, bengal, bego, bebal, gemblung, dan berotak-udang, yang bahkan sama sekali tidak bisa diberi nasihat oleh siapa pun, oleh ajaran kebaikan mana pun.
Saya tidak mampu membayangkan, cara-cara memilih dan memilah serapah di antara sampah masyarakat.
“Kampret!”
Dilansir dari Penulis: Budi Susilo